|
21
03/2025
|
|
17
07/2021
|
Kategori : Berita Komentar : 0 komentar Author : Purwanto_Motivi |
PERAN BIMBINGAN DAN KOSELING DALAM IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH – LUJIANTO

Boleh dibilang, ini adalah masalah klasik bagi dunia pendidikan di Indonesia. Apa itu? Apalagi kalau bukan pembelajaran dengan dominasi basis hafalan saja. Patut disayang lagi, aneka hafalan anak tidak terhubung dengan situasi sebenarnya yang dihadapi anak. Akibatnya, anak tetap sulit menyelesaikan masalahnya sendiri. Belum lagi beban belajar anak yang sangat banyak. Tentu saja alasannya adalah tuntutan kurikulum, yang mengharuskan siswa memahami semua mata pelajaran pada saat yang bersamaan. Tidak bisa dipungkiri, siswa tertentu mampu mengikuti dan meyerap pelajaran dengan baik. Namun di lain pihak, justru banyak siswa stres atau acuh karena terbebani pelajaran.
Pendidikan selayaknya membekali siswa untuk berkemampuan. Kemampuan yang dapat digunakan untuk memecahkan, mengatasi, dan menyelesaikan masalah. Dalam hal ini dunia pendidikan bukan semata “transfer of knowledge”, tetapi mengembangkan potensi siswa secara sadar melalui kemampuan yang lebih dinamis dan aplikatif. Sekolah juga harus mampu menciptakan ruang pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan siswa. Sekolah harus menciptakan peluang bagi semua anak, dengan varian kemampuan. Semua anak harus maju dan berprestasi, sesuai keunikan masing-masing (one student one achievement). Sekolah selayaknya menerapkan sistem terbuka serta mawadahi semua potensi. Dari sinilah akan didapatkan siswa dengan kemampuan menggunakan serta memaksimalkan kemampuan pikir sendiri, terutama ketika menyelesaikan masalah.
Secara teori, kita sudah dikenalkan dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Pusat pendekatan pembelajaran ini adalah masalah yang disajikan oleh guru atau siswa, kemudian setelah itu berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan seluruh pengetahuan dan keterampilan siswa dari aneka sumber yang dapat diperoleh. Namun, harus kita akui anak terkadang tidak memiliki kemampuan melihat permasalahannya sendiri. Anak tertentu memerlukan bimbingan langsung Sekolah. Dalam konteks ini, peran Bimbingan Konseling (BK) sangat dibutuhkan.
Bimbingan dan konseling mempunyai peran yang sangat penting dalam mendampingi siswa, yaitu membantu setiap pribadi siswa berkembang secara optimal. Bimbingan dan konseling memiliki fungsi konselor kepada siswa. Membantu menyelesaikan permasalahan individu, menembus dinding rahasia siswa. BK harus mampu membing siswa, baik yang terbuka maupun yang cenderung introvet.[1] Memang sulit. Namun disinilah tantangan yang seharus diambil oleh guru bimbingan konseling di sekolah.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas dan mengungkap lebih dalam mengenai pembelajaran berbasis masalah serta langkah tempat pendampingan oleh bimbingan konseling sekolah. Harapannya, kita akan menemukan formulasi pembejaran yang tepat untuk menemukan permasalan anak, dan bagaimana cara menyelesaikan permasalahan tersebut.
Menurut Dindin Abdul Muiz Lidinillah, Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based Learning (PBL) didasarkan pada hasil penelitian Barrow and Tamblyn (1980, Barret, 2005) dan pertama kali diimplementasikan pada sekolah kedokteran di McMaster University Kanda pada tahun 60-an.[2] PBM sebagai sebuah pendekatan pembelajaran diterapkan dengan alasan bahwa PBM sangat efektif untuk sekolah kedokteran dimana mahasiswa dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut untuk memecahkannya. PBM lebih tepat dilaksanakan dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran tradisional. Hal ini dapat dimengerti bahwa para dokter yang nanti bertugas pada kenyataannya selalu dihadapkan pada masalah pasiennya sehingga harus mampu menyelesaikannya. Walaupun pertama dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah kedokteran tetapi pada perkembangan selanjutnya diterapkan dalan pembelajaran secara umum.
PBM atau PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan serta belajar keterampilan pemecahan masalah. Selain itu juga, untuk memperoleh pengetahuan dan konsep esensial dari materi kuliah atau materi pelajaran.[3]
Berbicara mengenai landasan teori PBM adalah kolaborativisme, suatu pandangan yang berpendapat bahwa mahasiswa akan menyusun pengetahuan degan cara membangun penalaran dari semua pengetahuan yang sudah dimlikinya dan dari semua yang diperoleh sebagai hasil kegiatan berinteraksi dengan sesama individu. Hal tersebut juga menyiratkan bahwa proses pembelajaran berpindah dari transfer informasi, ke proses konstruksi pengetahuan yang sifatnya sosial dan individual. Menurut paham kosntruktivisme, manusia hanya dapat memahami melalui segala sesuatu yang dikonstruksinya sendiri.[4]
PBM memiliki gagasan bahwa pembelajaran dapat dicapai jika kegiatan pendidikan dipusatkan pada tugas-tugas atau permasalahan yang otentik dan relevan, dan dipresentasikan dalam suatu konteks. Cara tersebut bertujuan agar siswa memiliki pengalaman sebagaimana nantinya mereka hadapi di kehidupan profesionalnya. Pengalaman tersebut sangat penting, karena pembelajaran yang efektif dimulai dari pengalaman konkrit. Pertanyaan, pengalaman, formulasi, serta penyususan konsep tentang pemasalahan yang mereka ciptakan sendiri merupakan dasar untuk pembelajaran.[5]
Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu (2005) menjelaskan karakteristik dari PBM menjadi 5 bagian.[6] Bagian tersebut adalah ;
Pembelajaran dalam PBL lebih menitikberatkan kepada siswa sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh teori konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah yang otentik sehingga siswa mampu dengan mudah memahami masalah tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya nanti.
Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja siswa belum mengetahui dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya, sehingga siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari buku atau informasi lainnya.
Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha membangun pengetahuan secara kolaborative, maka PBM dilaksakan dalam kelompok kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas dan penetapan tujuan yang jelas.
Pada pelaksanaan PBM, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Namun, walaupun begitu guru harus selalu memantau perkembangan aktivitas siswa dan mendorong siswa agar mencapai target yang hendak dicapai.
Berdasarkan apa disampaikan Barrow di atas dapat ditarik benang merah faktor penentu sukses dan tidak pendekatan PBM ini adalah siswa itu sendiri. Sedangkan mengenai langkah pelaksanaan PBM Yongwu Miao et.al. membuat model Protokol PBM[7] yang disajikan dalam ilustrasi berikut :
Berikut adalah protokol PBM/PBL kepada siswa :
Bimbingan merupakan terjemahan dari kata “guidance”. Kata “guidance” yang dasarnya “guide”. Istilah “guidance” juga disebut bantuan atau tuntutan dan ada juga yang menerjemahkan dengan arti pertolongan. Secara etimologis, bimbingan berarti bantuan atau tuntunan.[8]
Bimbingan merupakan suatu pertolongan yang nenuntun. Bimbingan merupakan suatu tuntunan. Hal ini mengandung pengertian bahwa dalam memberikan bimbingan bila keadaan menuntut, kewajiban dari pembimbing untuk memberikan bimbingan secara aktif, yaitu memberikan arah kepada yang dibimbingnya. Disamping itu, bimbingan juga mengandung makna memberikan bantuan atau pertolongan dengan pengertian bahwa dalam menentukan arah diutamakan kepada yang dibimbingnya.[9]
Bimbingan merupakan suatu proses berkelanjutan. Artinya bimbingan bukan merupakan kegiatan secara kebetulan, bukan incidental atau kebetulan saja, tetapi bimbingan di sini merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematis, sengaja, berencana dan terarah kepada tujuan. Bimbingan merupakan proses membantu individu. Artinya mengarahkan individu. Artinya kegiatan bimbingan bukan paksaan, akan tetapi menolong mengarahkan individu kepada tujuan yang sesuai dengan potensi optimal.
Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin, yaitu “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari “sellan” yang berarti “menyerahkan” atau “menyampaikan”. Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya, dan untuk mencapai perkembangan.
Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin, yaitu “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari “sellan” yang berarti “menyerahkan” atau “menyampaikan”. Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya, dan untuk mencapai perkembangan optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya, proses tersebut dapat terjadi setiap waktu Maclean, konseling suatu proses yang terjadi dalam hubungan tatap muka antara seorang individu yang terganggu oleh karena masalah-masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja yang profesional, yaitu orang yang telah terlatih dan berpengalaman membantu orang lain mencapai pemecahanpemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi.[10]
Bimbingan selalu berdampingan dengan makna konseling atau dengan kata lain bahwa makna dari bimbingan dan konseling tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu akan diuraikan beberapa pengertian konseling dari pendapat para pakar pendidikan untuk memperkuat dan mempelajari bimbingan dan konseling secara mendalam. Menurut Abu Bakar M.Luddin bahwa: Konseling adalah usaha untuk membantu seseorang menolong dirinya sendiri. Konseling membantu anak-anak membuat keputusan sendiri sehingga mereka menemukan kepuasan dan kesenangan dalam kehidupan kerja mereka. Konseling mengakui kebebasan individual untuk membuat keputusan sendiri dan memilih jalurnya sendiri yang dapat mengarahkannya. [11]Konseling bukan pervakapan, akan tetapi lebih sebagai suatu komunikasi yang intim, respirasi percakapan dan sebagai suatu kontak. Konseling memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengatakan apa yang ia inginkan, membiarkan ia melegakan hatinya kedalam kata-kata yang dapat mengurangi ketenangan emosional.28 Konseling adalah hubungan, dimana satu orang berusaha untuk membantu orang lain agar memahami dan dapat memecahkan masalahnya.
Sebagaimana dijelaskan di atas, prinsip dasar pembelajaran PBM adalah kolaborasi. Sekolah, guru dan siswa berkolaborasi untuk menemukan masalah siswa yang kemudian diselesaikan bersama. Salah satu peran penting guru BK adalah menjadi konselor bagi siswa. Konselor adalah pihak yang membantu klien dalam proses konseling, dan sebagai pihak yang paling memahami dasar dan teknik konseling secara luas, konselor dalam menjalankan perannya bertindak sebagai fasilitator bagi klien, kemudian konselor juga bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingi klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah yang dialaminya.[12]
Pada sistem pendidikan di Indonesia, Guru bimbingan dan konseling merupakan tugas profesional, artinya secara formal mereka telah disiapkan oleh lembaga pendidik yang berwenang mereka didik untuk menguasai seperangkat kompetensi yang diperlukan bagi pekerjaan bimbingan dan konseling dengan demikian dapat dikatakan bahwa guru bimbingan dan konseling memang secara sengaja dibentuk dan disiapkan untuk menjadi tenaga profesional dalam bimbingan dan konseling bagi siswa.
Suprianta menyatakan:
Guru bimbingan dan konseling adalah pendidik, karena itu konselor sekolah harus berkompeten sebagai pendidik yang memiliki karaktersitik yang dapat menunjang kualitas pribadi guru bimbingan dan konseling. Landasan dan wawasan kependidikan menjadi salah satu kompetensi dasar konselor sekolah. Konselor sekolah adalah seorang profesional, karena itu layanan bimbingan dan konseling harus diatur dan didasarkan kepada regulasi perilaku yang profesional.[13]
Sudah diceritakan oleh Tohirin bahwa keberadaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah di Indonesia sudah baik. Pengakuan kearah layanan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi sudah semakin mengkristal terutama dari pemerintah dan kalangan profesi lainnya. Penyelenggaraan bimbingan konseling sangat memiliki peran yang penting dalam tercapainya tujuan pendidikan. Dengan layanan bimbingan dan konseling, diharapkan sebuah lembaga pendidikan dapat membentuk karakter siswa yang baik dan mewujudkan nilai-nilai edukatif yang membangun. Selain itu bimbingan dan konseling juga tempat mencurahkan segala keluh kesah yang mungkin begitu rumit dialami suatu individu.[14]
Pada intinya Guru BK di sekolah memberikan layanan bimbingan dan konseling untuk kepentingan siswa. Berkaitan dengan hal tersebut Ericson mengatakan bahwa kegiatan pelayanan bimbingan konseling meliputi :[15] 1). Individual Inventory, 2). the counseling 4) the information service, 5) the placement service, 6) and the follow up service.
Tugas utama Guru BK sebagai konselor adalah membantu siswa untuk mengentaskan masalah-masalah pribadi siswa yang berhubungan dengan pendidikan dan pelajaran Untuk itu, Guru BK harus memiliki kompetensi akademik dan profesional sebagai suatu keutuhan. Tercantum dalam Peraturan Pemerintah Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh konselor, diantaranya kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi profesional dan salah satunya adalah kompetensi kepribadian. Dalam kompetensi kepribadian Guru BK/Konselor perlu memiliki kepribadian yang meliputi, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas, dan kebebasan memilih, menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat, serta menampilkan kinerja berkualitas yang tinggi.[16]
Dengan demikian boleh dibilang jika BK bagian tidak terpsahkan dari pelaksanaan PBM. Tidak belebihan karena memang BK memiliki tujuan sama dengan PBM, yakni secara umum bimbingan dan konseling dalam keseluruhan bimbingan di pendidikan lembaga pendidikan adalah membantu seluruh peserta didik melalui pelayanan (yaitu tertuju kepada masing-masing) pribadi, agar mencapai tahap perkembangan optimal baik secara akademis, psikologis, maupun sosial. secara akademis pelayanan ini bertujuan agar setiap peserta didik mencapai penyesuaian akademis secara memadai dan mencapai prestasi belajar secara optimal. Secara psikologis pelayanan bimbingan dan konseling bertujuan agar peserta didik mencapai perkembangan yang ditandai dengan kematangan dan kesehatan pribadi. Juga secara sosial pelayanan ini bertujuan agar setiap peserta didik dapat mencapai penyesuaian dan memiliki keterampilan sosial secara memadai.[17] Sejalan dengan perkembangannya konsepsi bimbingan dan konseling, maka tujuan bimbingan dan konseling pun mengalami perubahan, dari yang sederhana sampai ke yang lebih komprehensif.[18]
PBM juga bersuian dengan tujuan umum bimbingan dan konseling adalah untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (sepeti kemampuan dasar dan bakat-bakatnya), berbagai latar belakang yang ada (seperti latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial ekonomi), serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya. Dalam kaitan ini, bimbingan dan konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam kehidupannya yang memiliki berbagai wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungannya. Insan seperti itu adalah insan yang mandiri yang memiliki kemampuan untuk memahami diri sendiri dan lingkungannya secara tepat dan objektif, menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis, mampu mengambil keputusan secara tepat dan bijaksana, mengarahkan diri sendiri sesuai dengan keputusan yang diambilnya itu, serta akhirnya mampu mewujudkan diri sendiri secara optimal.
Lebih teknis PBM selaras dengan tujuan khusus bimbingan dan konseling merupakan penjabaran tujuan umum tersebut yang dikaitkan secara langsung dengan permasalahan yang dialami oleh individu yang bersangkutan, sesuai dengan kompleksitas permasalahannya itu. masalah-masalah individu bermacam ragam jenis, intensitas, dan sangkut-pautnya, serta masing-masing bersifat unik. Oleh karena itu tujuan khusus bimbingan dan konseling untuk masing-masing individu bersifat unik pula. Tujuan bimbingan dan konseling untuk seorang individu berbeda dari (dan tidak boleh disamakan dengan) tujuan bimbingan dan konseling untuk individu lainnya.[19]
Bimbingan dan konseling adalah suatu proses pemberian bantuan secara terus menerus dan sistematis terhadap layanan bimbingan dan konseling yang mengupayakan membantu individu belajar mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya dan untuk merencanakan masa depannya sesuai dengan minat, kemampuan, dan kebutuhan sosialnya. Atau proses bantuan kepada siswa supaya ia dapat mengenal dirinya dan dapat memecahkan masalah hidupnya sendiri sehingga ia dapat menikmati hidup secara bahagia.
Tujuan bimbingan dan konseling adalah agar individu yang dibimbing memiliki kemampuan atau kecakapan melihat dan menemukan masalahnya dan mampu atau cakap memecahkan sendiri masalah yang dihadapinya serta mampu menyesuaikan diri secara efektif dengan lingkungannya. Peranan bimbingan dan konseling dalam pendidikan merupakan suatu usaha membantu individu untuk menjadi manusia yang berkembang dalam hal pendidikan dan membentuk kepribadian yang berguna dalam kehidupannya yang memiliki berbagai wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan ketrampilan yang tepat terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Sehingga urgensi bimbingan dan konseling sanagt penting guna mencapai pengembangan dan keoptimalan. Dengan demikian, maka pembelajaran berbasis masalah PBM beresuain dengan teori Bimbingan Konseling, selain itu dalam pelaksanaan PBM di sekolah tidak akan bisa dilepaskan dari peran peran profesional Bimbingan Konseling di Sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar M.Luddin, (2009), Kinerja Kepala Sekolah Dalam Kegiatan Bimbingan Dan Konseling, Bandung : Cipta Pustaka Media Perintis, hal 47
Alwisol, (2009), Psikologi Kepribadian Edisi Revisi, Malang: UMM Press.
Bimo Walgito, (2010), Bimbingan dan Konseling (Studi & Karir), Yogyakarta : CV Andi Offset.
Jurnal Didin Abdul Muiz, mengambil dari Liu, Min. 2005. Motivation Student Throught Problem Based Learning. University of Texas –Austin.
Mamat Suprianta, (2011), Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi Orientasi Dasar Pengembangan Profesi Konselor, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Namora Lumongga, (2014), Memahami Dasar-dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta : Kencana.
Prayitno & Erman Amti, (2013), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : PT Rineka Cipta.
Pupuh Fathurrohman, (2014), Urgensi Bimbingan Dan Konseling Di Perguruan Tinggi, Bandung : PT Refika Aditama.
Sisrianti, dkk, (2013), Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Kepribadian Guru Bimbingan Dan
Konseling/KonselorDi Smp N 5 Pariaman, Jurnal Ilmiah KonselingVol 2 No 1
Tohirin, (2014), Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), Jakarta : Rajawali Pers,
Tohirin, (2014), Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hal 257
[1] Seseorang yang memiliki kepribadian introvet memusatkan diri pada dunia dalam dan privat dimana realita hadir dalam bentuk hasil amatan, cenderung menyendiri, pendiam atau tidak ramah. Biasanya kepribadian introvet sibuk dengan kehidupan mereka sendiri (Alwisol, (2009), Psikologi Kepribadian Edisi Revisi, Malang: UMM Press, hal, 45)
[2] Diakses dari, , 12 Juli 2021
[3] Ibid.
[4] Ibid, hal. 2
[5] Ibid.
[6] Jurnal Didin Abdul Muiz, mengambil dari Liu, Min. 2005. Motivation Student Throught Problem Based Learning. University of Texas –Austin.
[7] Diakses dari, , 12 Juli 2021
[8] Tohirin, (2014), Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), Jakarta : Rajawali Pers, hal 16
[9] Bimo Walgito, (2010), Bimbingan dan Konseling (Studi & Karir), Yogyakarta : CV Andi Offset, hal 6
[10] Prayitno & Erman Amti, (2013), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : PT Rineka Cipta, hal 100
[11] Prayitno & Erman Amti, (2013), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling…hal. 34
[12][12] Namora Lumongga, (2014), Memahami Dasar-dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta : Kencana, hal 21
[13] Mamat Suprianta, (2011), Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi Orientasi Dasar Pengembangan Profesi Konselor, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hal 11
[14]Tohirin, (2014), Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hal 257
[15] Abu Bakar M.Luddin, (2009), Kinerja Kepala Sekolah Dalam Kegiatan Bimbingan Dan Konseling, Bandung : Cipta Pustaka Media Perintis, hal 47
[16] Sisrianti, dkk, (2013), Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Kepribadian Guru Bimbingan Dan Konseling/KonselorDi Smp N 5 Pariaman, Jurnal Ilmiah KonselingVol 2 No 1
[17]Pupuh Fathurrohman, (2014), Urgensi Bimbingan Dan Konseling Di Perguruan Tinggi, Bandung : PT Refika Aditama, hal 18
[18] Ibid, hal.19
[19] Prayitno & Erman Amti, (2013), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : PT Rineka Cipta, hal 114
|
18
03/2025
|
|
19
02/2025
|
|
17
02/2025
|
|
15
02/2025
|
|
15
02/2025
|
Hak Cipta © 2025 Motivi Slogohimo
Recent Comments